Februari 2017

    Ninja Warrior Save The Eggs

    Nyawa penting aktivitas pembelajaran adalah keingintahuan. Manakala semua siswa sudah tumbuh rasa ingin tahunya, maka proses pembelajaran dijamin menekati targetnya. Tapi sebaliknya, sebuah pembelajaran menjadi seakan beban yang membosankan manakala siswa belum menjalaninya dengan motivasi dari rasa ingin tahunya. Sehingga menjai sebuah kewajiban untuk memulai pembelajaran itu dibutuhkan metode atau aktivitas sebagai media untuk menghantarkan masuk pembahasan yang memancing rasa ingin tahu siswa. Memulai tema Gerak, siswa kelas 3 mengikuti kegiatan buka tema yang diberi tajuk game Ninja Warrior Save The Eggs, Ninja Warrior menyelamatkan telur-telur. Apa hubungannya Ninja Warrior dan telur? Nah, judulnya saja sudah memancing ingin tahu kan? :)
      Untuk memulai game ini, anak-anak dijelaskan dahulu aturan mainnya. Setiap anak diharuskan membawa satu butir telur utuh yang dibungkus plastik bening. Telur itu ibarat nyawa bagi para ninja, jika tetap utuh maka selamatlah ninja, namun, jika pecah maka si ninja gagal dalam mengemban misi ini. Mereka bergerak sesuai kelompok. Setipa kelompok menapatkan bahan berupa tali plastik, koran bekas, kotak kardus dan karet gelang. Setiap kelompok dipersilahkan berembug untuk mendesain bentuk alat untuk mengamankan telur. Dikarenakan setiap anak harus membawa telurnya sepanjang perjalanan. Jalur yang harus ditempuh sengaja dipenuhi halangan dan rintangan. Inilah tantangan yang harus diselesaikan oleh setiap ninja.
     Setiap anak harus memastikan telurnya aman dari goncangan dan benturan. Karena setiap ninja akan menyusuri jalur dengan loncat, meluncur, hanyut, mendaki, lari, jatuh. 
    Jalur bahaya pertama, ninja diharuskan untuk melompat ari ketinggian satu setengah meter. Tidak sembarang lompat karena mereka juga harus pikirkan keselamatan telur yang dibawanya.
    Tak kalah menantangnya, jalur ini setiap ninja iharuskan melewati jembatan jaring setinggi 5 meter. Keseimbangan tubuh wajib ada. Setelah itu mereka diharuskan untuk turun melalui tiang pipa dengan meluncur. Bagi yang membawa telur di sakunya, ancaman pecah sewaktu meluncur sangatlah besar.
    Bagian ini tak kalah serunya. Apapun bisa kemungkinan terjadi. Selain basah, mereka juga berjuang melawan arus sungai yang mengalir. Kekompakan tim juga diuji, apakah masing-masing anggota mementingkan keselamatannya sendiri atau bersama kelompok.
    Persis dengan diibaratkan dengan kehiupan ini yang tidak selalu datar terus. Kadangkala harus mendaki yang membutuhkan segenap energi untuk melewatinya. Mereka selain mengangkat dirinya sendiri juga memikirkan telur supaya tidak pecah.
    Selesai menyusuri track, setiap kelompok memeriksa kondisi telur setiap anggota. Keselamatan telur an ketepatan waktu selesai kembali ke tempat akan menentukan kemenangan setiap kelompok. Setelah semua selesai, masing-masing anggota memasak telur dengan menu sesuai selera masing-masing. Apalagi makan siang suah menjelang. Dengan semangatnya mereka masak untuk mendapatkan tambahan lauk sesuai dengan seleranya.
    Kiranya seru sekali acara buka tema kali ini. Harapannya ingin tahunya mulai tumbuh untuk kemudian menjadi bahan bakar pembelajaran selama satu bulan ke depan. 

    Panen Hiroponik dan Masak Omelet

    Proses pembelajaran tidak saja melulu hanya yang dipahami, dihafalkan dan diingat. Tapi sampai pada apa yang dirasakan sehingga menjadi refleksi hidupnya. Menjadi ketrampilan dan sikap yang merupakan kelengkapan dalam menjalani kehidupan keseharian si anak. Oleh karena itu proses pembelajaran akan lengkap saat anak juga melakukan apa yang menjadi pemahamannya. Jika ia memahami bahwa sampah itu kotor dan sumber penyakit, maka ia harus bisa meletakkan sampah pada tempat yang selayaknya hingga menjadi kebiasaan serta sikap. Jika sholat itu dipahami merupakan aktivitas sangat penting, maka anak harus bisa melakukannya dengan benar hingga menjadi kebiasaan yang jika terlambat saja melakukan, tubuhnya sudah bereaksi menandakan rasa bersalah yang sangat.
     Mengajari anak bahwa menjaga lingkungan dengan melestarikan tumbuhan tidaklah cukup hanya dengan hafalan istilah reboisasi, terasering, intensifikasi dan sebagainya. Tapi mereka juga harus melakukan upaya penjagaan lingkungan tersebut. Mereka harus melakukan proses menanam tanaman. Untuk menghadirkan suasana asyik dan gembira dipilihlah kegiatan berkebun. Sekarang ini berkebun tidak harus mempunyai lahan yang luas karena di perkotaan pun sudah berkembang urban farming. Berkebun menggunakan lahan rekayasa. Sebagai contoh metode bertanam hidroponik.
       Ditambah lagi sayur menjadi jamak tidak disukai anak-anak. Begitu mereka ikut merasakan usaha menanam sayur, sedikit demi sedikit bisa ditumbuhkan rasa suka terhadap sayur. Anak-anak dilibatkan langsung menanam tanaman mulai dari bibit kecilnya. Mereka akan merasakan betapa tanaman yang masih kecil itu seperti bayi yang masih lemah, rapuh sehingga butuh kehati-hatian alam memegang dan melatakkan. 
    Setiap hari mereka pantau pertumbuhan tanaman sayuran tersebut. Apakah tumbuh dengan normal ataukah ada yang kurang. Sedihnya hati ini manakala mendapati tanaman sayuran yang melayu, kering dan mati. Rasa empati tergugah dengan melihat tanaman yang menjadi tanggung jawab setiap anak tersebut. Bagi yang mendapati tanaman yang tumbuh membesar dan sehat, rasa gembira ikut memenuhi rasa hatinya. Hingga tak sabar menantikan masa panen tiba.

    Panen sayuran bukan semata dipanen saja. Acara panen massal kali ini akan dilanjut dengan memasak bersama. Menu yang dipilih adalah Omelet. Setiap anak dikelompokkan menjadi beberapa regu. Mereka berbagi tugas untuk membawa perlengkapan masak dan bahannya. Setiap anak memanen tanamannya sendiri, digabung dalam dalam satu kelompok untuk dijadikan Omelet bersama.
    Bagi yang awalnya tidak suka sayur, dengan memasak sendiri ini mereka jadi suka. Apalagi rame-rame. Seakan-akan baru kali itu makan Omelet. Ditambah lagi hiasan masakan setiap omelet yang dikreasi sesuai dengan selera mereka sendiri. Aktivitas masak menjadi menyenangkan. Idealnya memang kegiatan berkebun itu harus terkoneksi dengan kegiatan masak. Kita sudah secara langsung mengajarkan kepada anak tentang pentingnya ketahanan pangan.