September 2019

    BATAS LITERASI


    Saya sering jumpai siswa yang sudah lancar membaca tapi tidak memahami apa yang ia baca. Sehingga, membaca baginya adalah sebentuk pelunasan beban kewajiban belajar saja. Saya tidak jarang menjumpai siswa yang diberi tugas gurunya di perpustakaan untuk merangkum sebuah buku. Yang dilakukan bukan membaca buku itu dulu. Ya tidak harus semua saja lah. Tapi juga tak dilakukannya. Trus apa yang dilakukan? Siswa itu langsung buka buku. Kemudian hanya menuliskan kembali tulisan persis yang ada di buku. Satu atau dua buah kalimat saja. Pernah saya sambangi salah seorang mereka saat merangkum (menjiplak) buku. Dengan malu-malu ia tutup pelan-pelan buku itu. "Mengapa tak kau baca dulu bukunya?" tanyaku. Si siswa hanya tersenyum, kemudian melanjutkan aktivitas sebelumnya.
    Fenomena membaca tapi belum literat ini paling sering dijumpai saat siswa tingkat akhir (kalo SD kelas 6) Terlihat saat siswa disodorkan bacaan. Sudah terampil membaca sih, tapi tak bisa menangkap pesan atau inti bacaan. Paling nyata lagi terlihat saat siswa harus memahami sebuah soal cerita. Boleh jadi anak hafal rumus dan lihai dalam berhitung. Tapi kemampuan dalam menangkap masalah dalam soal cerita bisa berakibat fatal. Asal comot dan hitung angka-angka dalam soal cerita padahal angka itu bukan data penting masalah.
    Nah, kapan titik literasi membaca itu sudah terlewati? Manakala membaca bagi anak sudah menjadi aktivitas seasyik main game. Tak kenal waktu dan tempat. Saat ada buku langsung sikat. Anak-anak jenis ini tergolong makhluk yang paling kerasan di perpustakaan, pameran buku atau toko buku. Buku sudah seperti makanan lezat yang rugi jika terlewat.
    Sering kujumpai anak yang menampilkan ekspresinya saat membaca. Ketawa sendiri, muka serius. Trus, seringnya konfirmasi kosa kata yang baginya baru. Gak ada angin gak ada hujan, anakku yang kelas 2 bertanya, "Dipecahkan itu apa to bi?" ternyata ia baru saja membaca narasi "masalah yang dipecahkan" karena baginya yang dipecah itu selama ini ya barang pecah belah. Masalah yang 'dipecahkan' itu masih terlalu abstrak baginya. Adil makmur, anak gadis, mengapa hari sabtu gak boleh nyari ikan (ini aku sempat hening, oh ini pasti kisah liciknya yahudi ngakali Allah hehe)
    Ayo kita cek lagi kemampuan baca anak-anak kita. Atau bahkan diri kita. Sudahkah sampai pada titik literasi?
    sumber : Ariefuddin

    US, AKU PINGIN CEPET NIKAH



    Mendengar. Kan. Sepertinya sudah menjadi aktivitas yang sangat berat di era serba visual ini. Serba touchscreen dan movie. Teknologi processor yang makin cepat membuat tayangan yang membagi pesan dengan kilat pula. Informasi otak didominasi berasal dari serapan mata. Berwarna. Gradasi. Siluet. Semua mata yang mencerna. 

    Daya imajinasi sedikit demi sedikit berkurang. masihkah ingat saat jaman stasiun TV baru ada TVRI?  Ada satu cerita di radio yang sangat terkenal. Saur Sepuh. Banyak stasiun radio menyiarkan. Dibuat sekuelnya. Ceritanya menarik sehingga membuat pendengarnya penasaran. Bahkan sampai ada yang mengulang untuk sekuel yang sama di stasiun radio lainnya. Salah satu yang membuat menarik selain alur cerita, adalah karena audiens itu mendengarkan. Dengan mendengarkan, imajinasi pendengar bermain. Bagaimana menggambarkan burung Rajawali raksasa yang ditumpangi tokoh Brama Kumbara. Atau Pedang Setannya Manthili. Ajian Serat Jiwa dari tingkat 1 ke tingkat 10. Tapi, betapa kecewa massalnya para penggemar Saur Sepuh saat kisah itu diangkat ke layar lebar. Mengapa? Karena saat itu teknologi CGI memang belum ada sehingga untuk membuat rajawali raksasa masih manual. Dan tentu saja performance sang rajawali jauh sekali mewakili imajinasi para pendengar yang sudah dahulu terbangun.

    Fakta ini harus kita pahami benar. Terutama dalam proses pembelajaran. Dengan era yang lebih banyak menstimulus penglihatan anak, kita butuh menyeimbangkan dengan indra pendengarannya. Ide ini yang coba saya terapkan di kelas saya. Pembelajaran calis, membaca dan tulis agar terjadi ikatan (engangement) antara siswa dan pembelajaran dibutuhkan ketertarikan. Mengapa banyak anak yang tak terikat dengan pembelajaran sehingga males belajar ? Belajar hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Menulis, membaca hanya mekanis, robotik. Tak mempunyai ruh. Bisa jadi mereka sedang teralienasi, terasingkan dengan materi belajar. Tidak dilibatkan sehingga bisa merasakan. Di kelas, saya coba ubah semua instruksi dan pesan itu dominan audiotori. Harus didengar. Kan. Di awal nampak sekali betapa paparan visual yang dominan dari gadget menjadi halangan bagi siswa untuk fokus mendengarkan. Sedangkan siswa diharuskan mendengarkan untuk menangkap cerita yang saya sampaikan untuk kemudian ditulis kembali inti yang dipahami dari cerita itu. 

    Waktu itu tema pembelajaran di kelas 2 adalah makanan. Saya mengambil buah apel sebagai topik cerita. Kisah 'Pemuda dan Apel' jadi pilihan menarik menurutku untuk dikisahkan. Meski kisah ini nyata, tapi tetap butuh modifikasi hiasan-hiasan agar menarik siswa. Di kisah itu seorang pemuda di era thabi'in yang bernama Tsabit bin Zutho menemukan sebuah apel. Karena saking laparnya ia makan apel itu satu gigitan. Tapi ia kemudian kaget karena apel itu belum halal baginya. Lalu ia cari si pemilik apel. Bertemulah Tsabit dengan seorang Bapak di tengah ladang. Lalu Tsabit minta halalnya apel kepada si Bapak. Apel akan diikhlaskan dengan syarat Tsabit harus kerja di ladangnya selama kurun waktu tertentu. Waktu berlalu hingga tiba berakhirnya masa kerja di ladang. Segera Tsabit temui Bapaknya minta penegasan lagi. Si Bapak kasih syarat tambahan. Di titik ini beberapa anak ada yang berkomentar "Kejam banget ya si Bapak, cuma satu apel syaratnya berat sekali". Syarat kedua adalah diminta menikahi putrinya yang buta, tuli dan buntung. Si Tsabit dengan berat hati menerima syarat itu. Setelah akad nikah, si Bapak meminta Tsabit untuk menemui anak gadisnya yang buta, tuli dan buntung itu. Betapa kagetnya Tsabit karena yang ia lihat adalah seorang gadis normal, cantik, bermata biru dan berambut pirang (ini tambahan hiperbolik saya 😁). Kulihat wajah takjub di mata siswa-siswaku. Bahkan ada yang nyeletuk "Us, Aku pengen cepet nikah"
    Imajinasi anak tentang gadis yang cantik cukup terbagun. Sehingga saat menuliskan kembali dalam bentuk narasi mereka tuliskan selain alur cerita juga makna kesan yang mereka tangkap dari mendengarkan cerita barusan. Meski masih ada yang baru mampu menangkap alurnya secara utuh, secara umum inti pesan cerita mampu dipahami.

    sumber : Ariefuddin