Oktober 2017

    Siswa, Orang Tua dan Guru Bersatu Dalam Sumpah ! Aku Ini Indonesia !

    Filosofi lahirnya lembaga sekolah itu adalah bahwa dikarenakan munculnya Revolusi Industri, sehingga setiap manusia tak terkecuali pasangan di setiap keluarga menghabiskan porsi waktunya untuk bekerja di perusahaan-perusahaan. Sehingga waktu untuk melakukan aktivitas pendidikan kepada anak-anaknya hampir tidak mencukupi. Para orang tua yang mempunyai nasib yang sama tersebut berkumpul dan mempunyai kesepakatan dimunculkannya sebuah lembaga untuk mendidik anak-anak mereka. Saat itulah sekolah menjadi lembaga yang membantu peran para orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Sehingga peran para orang tua tentu masih sangat kuat terikat dengan proses pendidikan yang dilangsungkan oleh lembaga sekolah. Jaman berjalan, paradigma bergeser. Sekarang sekolah semakin independen dalam menjalankan proses pendidikannya. Bahkan beberapa turut terjebak dalam industri komersialisasi. Peran orang tua yang sebelumnya sebagai mitra kuat bergeser menjadi konsumen yang hubungannya bukan lagi saling mitra tapi hubungan penjual dan pembeli. Orang tua menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak-anaknya kepada sekolah. Sekolah mewajibkan dengan tarif yang semakin mahal terutama untuk sekolah swasta. Sehingga manakala terjadi ketidakpuasan hasil, para orang tua selalu melayangkan kritik dan protes kepada sekolah. Sekolah dan orang tua semakin berjarak, hubunganya semakin formal dan kaku.

    Harapan untuk mewujudkan harmonisasi antara sekolah dan orang tua harus terus ditemukan metode dan solusinya. Hal tersebut penting untuk menyadarkan dan mengembalikan paradigma bahwa kewajiban pendidikan itu hakikatnya ada di para orang tua, bukan sekolah. Nah, ide sederhana untuk mencapai harapan itu mudah saja. Orang tua diikutsertakan dalam program dan kegiatan yang dilakukan siswa. Itu saja. Pasti, para orang tua akan ikut merasakan dan muncul inspirasi yang nantinya bisa diteruskan dibawa ke rumah dalam mendampingi putra-putrinya. Termasuk dalam even tutup tema pembelajaran kelas 3 kali ini. Tutup tema sebagai bentuk sajian hasil produk belajar dikemas dalam bentuk seni pertunjukan musikal. Tidak ketinggalan, orang tua juga ikut serta menunjukkan kebolehannya dalam pentas pertunjukan.
     Topik sejarah Sumpah Pemuda untuk kelas 3 cukup berat dipahami. Kronologi, tanggal, tahun, nama tokoh dan nama tempat. Untuk anak yang tidak suka menghafal tentu hal ini menjadi cukup membosankan. Metode bermain peran dalam drama tentu menjadi pilihan yang menarik bagi semua murid. Bermain peran di pentas panggung teater sebenarnya dengan tirai dan lighting yang mendukung. Kostum dan make up serta musik yang menukung alur cerita. Apalagi pilihan waktu di malam hari saat pentasnya menambah ruh teater mendekati sempurna.
       Keputusan pentas drama yang serius ini tentu berani dijalankan setelah didiskusikan dengan para orang tua dalam dewan kelas. Para orang tua siap dengan dukungan baik dana, tenaga bahkan ikut terjun langsung dalam teknis seperti menyiapkan kostum, make up, konsumsi penonton. Peran orang tua makin mengharmoni dengan sambutan yang bersemangat atas tawaran untuk ikut serta menampilkan pentas sebelum drama musikal para siswa. Para orang tua serius menyiapkan segalanya, hampir tidak terasa mana orang tua, mana guru. Semua menjadi panitia yang bertujuan untuk menyukseskan pentas tutup tema Sumpah Pemuda.
    Bahu membahu demi pentas yang sukses sehingga melepas status sebagai orang tua yang seharusnya cukup duduk manis siap melihat penampilan putra-putrinya. Melayani para tamu dan para guru yang sibuk (juga melepas status gurunya) menyiapkan dkorasi panggung dan kostum pemain.
    Bisakah Anda tunjukkan manakah yang merupakan guru, manakah yang merupakan orang tua? Betul menyatu dalam harmoni sudah dilakukan bersamaan dengan semangat persatuan dan kesatuan yang terkandung dalam nilai Sumpah Pemuda. Tema Sumpah Pemuda bukan semata menjadi hafalan semata tapi maujud dirasakan dan terjadi antara siswa, orang tua dan guru. 

    Repacking Baca Tulis

              
            Menjelang tidur, suatu malam, bang Fatih (kelas 3) membaca buku “Hamba yang bersyukur” halaman 32. Pada halaman tersebut ada foto dan scan tulisan tangan kakaknya, yang saat itu kelas 3. “ Wah, tulisan mas Azzam bagus, kayak tulisanku he.. he.. he..”, kata bang Fatih. Mas Azzam dan bang Fatih adik-kakak bersekolah di tempat yang sama, dimana saya mengajar.
              Itulah rutinitas menjelang tidur di keluarga kami. Izinkan saya bercerita kegiatan sekolah, mungkin kemudahan menjalani rutinitas di rumah kami memiliki hubungan dengan kegiatan sekolah anak-anak saya.
             Di sekolah kami, setiap hari ada Program Tunurisba (Tujuh menit Nurul Islam memBaca). Setiap siswa boleh membaca di perpustakaan sekolah, membaca majalah dinding, membaca koran langganan sekolah (SKH Republika dan SKH Kedaulatan Rakyat), dan pojok buku di setiap kelas. 
              Di perpustakaan, layanan di buka pukul 07.30-14.30 WIB. Ustadz Wakhid dan ustadzah Walimah siap membantu guru dan murid untuk jenis peminjaman, pengembalian buku dan sumber belajar lain. Alhamdulillah, buku-buku sudah ter-barcode, sehingga sirkulasi peminjaman dan pengembalian dapat berjalan lancar. Begitu pula bila ada anggota perpustakaan yang terlambat mengembalikan atau belum mengembalikan buku akan otomatis diketahui. Menjelang pengambilan rapor, dari pustakawan akan mengedarkan daftar keterlambatan pengembalian buku melalui grup whatsapp dan juga ditempel di sudut-sudut sekolah. Nama, kelas, judul buku yang dipinjam. Kami selaku guru kelas melanjutkan grup whatsapp guru ke grup whatsapp kelas agar menjadi perhatian orang tua. Sekaligus mengingatkan murid di kelas yang diampu.
              Majalah dinding merupakan tugas tiap kelas untuk kelas 4, 5, dan 6. Wakil kepala bidang Kesiswaan membuat jadwal terbit, lokasi dan tema majalah dinding. Termasuk menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan siswa. Pengurus kelas menindaklanjuti berbagi tugas dengan teman sekelas untuk menyumbangkan tulisan, gambar, dan informasi. Tentunya di bawah bimbingan guru kelas masing-masing. Di akhir tahun akan diumumkan juara majalah dinding dengan kriteria yang telah disosialisasikan sebelumnya. 
    Pojok buku di setiap kelas akan mengurangi kepadatan di perpustakaan, sekaligus melibatkan peran serta murid dalam kegiatan membaca. Pojok buku meminta kesediaan setiap siswa membawa buku dari rumah yang diletakkan di kelas selama satu bulan. Di kelas sudah disiapkan kotak kardus/ kotak plastik/ lemari kecil untuk tempat buku-buku tersebut. Tiap awal bulan buku akan diganti dengan buku yang lain. Selama sebulan itu, anak dapat membaca di kelas atau main ke kelas pararel yang lain untuk membaca koleksi kelasnya. Judul buku yang mendominasi pojok buku ialah komik sains, komik sejarah, dan cerita pendek kecil-kecil punya karya (KKPK). 
    Pada saat pembukaan kelas atau penutupan kelas, beberapa anak secara bergantian dapat menceritakan informasi yang diperolehnya dari membaca. Hal ini dapat melatih anak agar berani menyampaikan pendapat, melatih berbicara dengan teman sekelas, bersedia berbagi informasi dengan teman, dan juga melatih mendengarkan bagi anak-anak yang lain.
            Setiap pekan ada pengembangan diri berupa membaca dan menulis. Alokasi waktunya setelah dzhuhur di hari yang berbeda. Terkadang bila cuaca mendukung, kegiatan membaca dan menulis ini bisa dilakukan di luar kelas. Kami sepakati dengan anak-anak terkait tempat, waktu, dan tema. Lalu kami bersama-sama berpindah tempat ke pinggiran sawah, pinggir sungai, sepanjang saluran air, samping kuburan, sekitar pemukiman penduduk, dekat pasar, dan tempat lainnya di sekitar sekolah. Setiap anak sudah membawa alat tulis atau buku bacaan. Sampai di lokasi, masing-masing tenggelam dengan ide dan pikirannya. Untuk menulis, disepakati minimal satu atau setengah halaman. Untuk membaca, anak-anak diminta menuliskan hal-hal penting ke dalam lembar kontrol bacaan. Kemudian guru kelas akan memeriksa dan memberikan umpan balik untuk perbaikan kegiatan membaca dan menulis berikutnya.
    Tahun lalu saya mengajar di kelas 4, kami sepakati dengan guru kelas dan siswa untuk membuat proyek buku komik. Cukup setiap anak membuat satu halaman berupa gambar dan sedikit teks. Lalu dikumpulkan, discan, dan diedit. Saya ke tempat fotokopian untuk digandakan dan disteples dengan cover bukunya. Sebelumnya saya minta bantuan teman untuk membuatkan cover buku yang fullcolour. Jadilah buku “Komik SIP, asli buatan anak sekolah alam Jogja”.
             Di akhir semester genap ada Lomba Pustaka. Panitia inti ialah pustakawan sekolah yang melibatkan guru-guru sebagai juri. Jenis perlombaan dari tahun ke tahun tidak monoton. Berkisar antara lain lomba membuat puisi, membaca puisi, membuat pantun, meresensi buku, membuat cerita pendek, menggambar, mewarnai, dan lain sebagainya. Dari karya yang terkumpul dibuat buku, antaralain “Geng penyelamat bumi, Ibuku tukang sulap, dan Sahabat”. Ikon lomba pustaka ialah Raja dan Ratu Buku. Diambil dari lomba resensi buku perpustakaan, diseleksi bertahap. Hingga tahap presentasi buku. Juaranya bergelar Raja dan Ratu Buku. Di samping itu juga ada peminjam buku terbanyak dari siswa dan guru, tentunya disiapkan hadiah menarik dari pustakawan.
    Dan setiap akhir semester setiap anak menerima Rapor Kepribadian, yang salah satunya melaporkan kegiatan membaca murid. Sebagai contoh, murid kelas 3 membaca minimal 15 buku per semester. Guru kelas memberi keterangan: konsisten (KS), kadang (KD), dan belum tampak (BT).
             Buku yang dibaca Fatih adalah dokumentasi kelas 3. Saat itu saya mengajar kelas 3, bersama guru kelas 3 yang lain, kami memberi tugas kepada murid untuk membuat tulisan pengalaman pribadi. Lalu tulisan dikumpulkan, discan dan diedit dengan tambahan foto masing-masing anak pada halaman tulisan mereka. Dokumentasi kelas tersebut disusun menjadi buku “Hamba yang bersyukur”. Menyusul buku berikutnya dari Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaaan yang berusaha mengumpulkan komentar, pendapat, pengalaman siswa kelas 3-6 selama mengikuti dua kegiatan sekolah (Mukhoyam dan GPS). Terbitlah buku “1001 cerita Mukhoyam”-kegiatan perkemahan Pramuka- dan “Cerita pendek Gelar Potensi Siswa (GPS)”-persembahan seni dari tiap kelas berupa pagelaran seni tari, drama musikal, tarik suara, pertunjukkan memainkan alat musik (drum, biola, gitar, piano, seruling), pertunjukkan beladiri, olah bola sepak, dan lain lain-.
             Darimana biaya mencetak buku? Pembiayaan berasal dari sukarela orang tua/ pihak lain, sponsor, tabungan anak-anak, dan anggaran sekolah. Bila pembiayaan mencetak buku dari bantuan sukarela, maka kita cukup memberikan ucapan terima kasih dalam pengantar buku atas dukungan bapak/ ibu sehingga buku sederhana ini dapat terbit. Berbeda bila pembiayaa dari sponsor. Maka biasanya ada imbal balik berupa logo usaha dicantumkan di buku, bisa dicover depan, belakang, atau dalam. Sesuaikan dengan perjanjian. Bisa juga pembiayaan dengan melibatkan sepenuhnya kemandirian anak-anak. Inilah proyek berdikari. Guru dan murid berusaha mengumpulkan uang jajan untuk mewujudkan buku. Walau membutuhkan waktu yang cukup sehingga perlu pengaturan kapan mulai menabung dan akhir tahun terkumpul uang untuk mencetak buku. Rasanya inilah yang paling heroik dan mendebarkan. Opsi terakhir ini tidak terlalu menjanjikan, mengingat pemasukan sekolah yang terbatas, sementara pengeluaran sekolah semakin waktu semakin bertambah. Namun paling tidak dapat dialokasikan selama setahun untuk mencetak satu judul dengan jumlah yang terbatas, sebagai dokumentasi perkembangan membaca dan menulis murid tahun itu. Semacam lomba membuat cerita pendek yang di bagi kelas atas dan bawah. Bila pesertanya melimpah bisa dilanjutkan dengan seleksi juara. Namun bila tidak terlalu banyak, cukuplah karya anak-anak dibukukan menjadi buku. Sebagai hadiahnya ialah buku yang dicetak itu.
    Oh ya, tahun ini ada program baru dari Kepala Sekolah. Yaitu Pembinaan Olimpiade Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Setiap kelas diminta menyetorkan dua anak untuk mengisi masing-masing pembinaan olimpiade tersebut. Dari kelas 4, 5, dan 6 terkumpullah 18 murid untuk setiap pembinaan olimpiade. Diampu satu orang guru pembinaan ini berjalan setiap pekan, sepulang sekolah. Bila ada perlombaan yang memungkinkan sekolah berpartisipasi, maka sekolah akan mengirimkan jagonya.

    Buka Tema Kelas 3 : Big Puzzle Game

    Membuka tema pembelajaran baru di bulan Oktober ini, kelas tiga akan menikmati pembelajaran yang spesial. Karena tema yang dipilih pas dengan waktunya. Yaitu tema Sumpah Pemuda. Untuk mengawali pembelajaran tema Sumpah Pemuda diadakanlah kegiatan buka tema dahulu. Karena kegiatan buka tema sangat penting karena selain berfungsi untuk mengantarkan, buka tema juga sebagai media untuk mendorong rasa ingin tahu, curious booster. Harus kita sadari bahwa energi belajar setiap manusia itu adalah rasa ingin tahu, curiousity. Manakala sudah terpicu, siapapun akan mengejar dahaga ingin tahunya itu kemanapun dan kapanpun. Senekat apapun. Tak hanya harta bahkan nyawapun dikorbankan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Dan itulah alasan mengapa menuntut ilmu itu termasuk jihad. Orang yang dalam proses perjalanan menuntut ilmu apabila meninggal termasuk yang mendapatkan pahala jihad.  
     Sumpah Pemuda dan materi sejarah sosial lainnya termasuk yang cukup berat dipahami oleh siswa. Mereka harus menghafal kronologi kejadian, waktu, nama tokoh, nama tempat, kaitan kejadian, konflik dan intrik yang terjadi. Sehingga untuk sebagian siswa, pelajaran sejarah itu termasuk berat. Nah, supaya anak-anak mengenal sejarah penting yang dilewati bangsa ini. Sehingga mampu mengambil pelajaran untuk masa depan, maka memahami sejarah terutama bangsa dan negara ini tetaplah penting. Namun, pilihan metode yang tepat, yang mampu masuk di dunia anak-anak lah yang paling penting direncanakan. Tidak asal disampaikan dengan ceramah, anak harus menghafal karena merasa berat berakibat anak muncul rasa tidak suka pada pelajaran sejarah, lebih parahnya lagi benci pada sejarah bangsa kita.
    Pilihan metode untuk buka tema Sumpah Pemuda ini adalah dengan kegiatan big game, permainan besar. Yang melibatkan seluruh siswa kelas 3 yang berjumlah 84 anak. Permainan yang dijalankan adalah, seluruh siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 5 - 6 anak. Setiap anak diberikan petunjuk berupa narasi kemana mereka harus pergi ke suatu tempat. Di setiap tempat itu mereka diharuskan menemukan satu lembar kertas untuk satu anggota kelompok. Di kertas tersebut akan ada berbagai bentuk coretan. Tugas mereka adalah menggabungkan kertas berisi coretan tersebut menjadi satu sehingga mempunyai makna dan bisa dipahami isi pesannya.
     Setiap kelompok mempunyai petunjuk yang berbeda urutan tempatnya. Sehingga tidak memungkinkan sama rute. Meskipun berpapasan antar kelompok masih sangat mungkin. Setiap kelompok bertugas memastikan seluruh anggota kelompoknya mendapatkan satu lembar kertas berisi coretan. Dilarang untuk mendapatkan lebih dari satu.
    Tugas selanjutnya, setelah semua anggota memegang satu lembar kertas. Mereka harus menyusun setiap lembar kertas. Setiap kelompok diperkenankan melakukan kerjasama dengan kelompok lainnya. Yang penting setiap lembar kertas tersusun bisa terlihat pesannya.
    Setiap kelompok bergerak untuk mendapatkan lembar kertas yang sesuai dengan didapatkan. Beberapa kelompok langsung menggabungkan diri. Ada sebuah dinamika menarik yang terjadi selama proses penggabungan lembaran kertas. Ada 2 kelompok besar yang bekerja untuk melakukan penggabungan kertas. Dua kelompok tersebut mayoritas dari kelas 3B dan 3C. Kelas 3A terpecah berdiaspora bergabung dalam 2 poros besar tersebut. Ada beberapa upaya untuk melakukan penggabungan 2 kelompok besar tersebut, beberapa anak nampak melakukan lobi namun belum juga berhasil. Mereka masih saja asyik untuk menyusun lembaran kertas. Meski sebagian sudah berhasil tersusun, rupanya belum sempurna. Beberapa anak terus melakukan lobi.
    Terlihat potensi pemimpin dan diplomat di beberapa anak yang mempunyai inisiatif muncul. Mereka mencoba menyelami alasan mengapa penggabungan 2 poros tersebut tidak sukses dilakukan. Sampailah pada titik mereka sudah terkunci masing-masing. Di salah satu kelompok terjadi perbincangan. Rupanya, mereka harus meminta ijin dahulu pada salah satu anak untuk melakukan proses kerjasama dua kelompok. Karena si anak tersebut posisinya baru di kelas. Sejurus kemudian, beberapa anak nampak berlarian dengan wajah ceria sambil meneriakkan "Gabung ! Gabung !" jadi begitu si tokoh kunci sudah merestui, proses penggabungan tersebut segera dilakukan. Bersatulah mereka untuk bersama menyusun puzzle besar.
    Tahukah Anda siapa tokoh kunci itu? Di luar dugaan, si tokoh kunci itu rupanya selama ini diluar dugaan siswa dan guru. Anaknya pendiam, dia termasuk siswa 3A yang kelasnya berdiaspora tadi. Rupanya dibalik diamnya, si anak tersebut mempunyai pengaruh dan sebagai penentu pemersatu 2 kelompok besar. Itulah the real leader !
      The Man of The Game
    Dengan model pembelajaran sambil mengalami ini, selain anak mendapatkan pengalaman karena melakukan, mereka akan saling mengetahui sifat diantara mereka. Terlihat selama proses pengerjaan penyatuan puzzle, tak sedikit anak-anak yang justru asyik dengan kegiatan lain. Bermain kejar-kejaran, pergi tidak di tempat. Guru sangat terbantu sekali mendapatkan informasi sifat dan perilaku siswa melalui observasi di model pembelajaran permainan ini. 

    Mini Ensiklopedia Karya Zamora Pagaraga

    Raga panggilannya. Nama lengkapnya Zamora Pagaraga. Ada yang menarik dari hasil karya yang dibuat oleh Raga. Sebagai siswa kelas 3C, karyanya tersebut tergolong high level untuk ukuran siswa kelas 3 yang masih dalam tahap pematangan kemampuan kemampuan membaca dan menulisnya. Di sela waktu bermainnya, ia sempatkan untuk bercerita tentang karya miliknya. Yaitu berupa Mini Ensiklopedi.
    Ide pembuatan Mini Ensiklopedia ini murni dari dirinya setelah tertarik dengan bentuk buku ensiklopedia. Ensiklopedia menarik dikarenakan kombinasi antara gambar dan tulisan. Termasuk juga di Mini Ensiklopedianya.
    Sudah ada 3 karya Mini Ensiklopedia yang dibuat oleh Raga. Seri Organ tubuh manusia, Sejarah Dunia dan Rumah Adat. Alasan mengapa ia membuat ensiklopedia Rumah Adat, supaya generasi selanjutnya dapat mengenali warisan budaya nenek moyang. "Jadi gak cuma kenal yang pake listrik-listrik saja", katanya. Karena asal kedua orang tuanya dari tanah Padang, banyak informasi terkait dengan bumi Padang yang ia uraian. Seperti Kelok Sembilan, Rumah Gadang, Menara Gadang.

     Kombinasi antara gambar dan tulisan dengan narasi sepert bertutur ini menjadikan Mini Ensiklopedia yang dibuat Raga nuansanya mirip Komik. Ia mendapatkan informasi yang dicantumkan di Mini Ensiklopedianya itu digali dari melihat langsung, googling, wawancara dan baca majalah. Semua diramu dengan sudut pandang seorang Raga yang masih kelas 3 SD. Tentu kemasan ini akan sangat menarik bagi anak-anak seusianya. 
      Rupanya kegemarannya ini sudah ia mulai semenjak kelas 1. Kemampuan membaca dan menulis tentu tidaklah berhenti pada titik "sudah bisa membaca" dan "sudah bisa menulsi" saja. Tapi terus dilanjutkan hingga membuat karya yang mampu menjadi media untuk menyampaikan pesan. Proses membaca yang baik pastilah akan memicu proses menulis selanjutnya. Apa yang sudah diserap dari hasil bacaan akan bereaksi dengan berbagai informasi yang sudah diserap akan menghasilkan sebuah ide, konsep, inspirasi baru yang manakala sudah memuncak akan mendorong untuk dilahirkan dalam bentuk tulisan.