Jika kita menengok para
ilmuwan mengkategorisasikan sebuah jaman, secara sederhana ada yang disebut
jaman sejarah dan jaman pra sejarah. Dua kategorisasi tersebut yang membedakan
terletak pada budaya baca-tulis yang dibuktikan melalui artefak berupa tulisan.
Jika bukti yang diketemukan bukan merupakan tulisan maka belum masuk masa
sejarah.
Aktivitas baca-tulis
tentu menjadi sebuah revolusi dalam proses komunikasi. Yang sebelumnya
komunikasi lisan atau isyarat lebih dominan digunakan antar manusia pada saat
itu. Dengan baca-tulis komunikasi bisa dilakukan tidak harus ketemu, face-to-face. Sehingga berkembang
aktivitas baca-tulis dari sekedar untuk komunikasi menjadi alat untuk
dokumentasi. Memotret realita dan fakta yang terjadi di dalam tulisan-tulisan.
Sehingga muncullah cerita, kisah dalam bentuk karya tulis. Tidak berhenti
disitu, rupanya karya-karya tulisan tersebut mampu menggerakkan pikiran orang
untuk melahirkan ide baru. Sehingga sebuah tulisan seperti sebuah bola salju,
yang semakin lama berkaitan dengan tulisan lain menjadi ide baru yang lebih
besar. Dan lebih dahsyat.
Tentu mengajarkan
kemampuan baca-tulis harus dilandasi dengan kesadaran tersebut di atas.
Sehingga mengajarkan baca-tulis kepada anak didik bukan sekedar sudah bisa
membaca atau sudah bisa menulis, saja. Yang lebih penting lagi memunculkan
minat dari dua aktivitas tersebut. Paling penting lagi adalah, menggunakan
aktivitas membaca dan menulis itu untuk memahami ide lalu mengekspresikan ide
itu menjadi ide baru yang lebih dahsyat.
Sudah pasti mengajarkan
baca-tulis itu harus dipenuhi dengan suasana menyenangkan, memancing penasaran
hingga membuat ketagihan. Bukan malah penuh paksaan, membuat beban dan akhirnya
menjadi sesuatu yang dibenci.
Mengajarkan membaca
pada siswa kelas kecil tentu harus menyesuaikan dunianya yang kongkrit dan
dengan permainan. Bukan aktivitas monoton yang membosankan. Motivasi mengapa
harus bisa membaca lebih dominan dikisahkan daripada paksaan untuk segera menghabiskan
buku jilid baca. Permainan mencari jejak yang menggunakan tulisan akan semakin
memancing keranjingan mereka untuk bisa segera membaca.
Anak bisa membaca
memang membanggakan, namun itu bukan akhir dari segalanya. Langkah berikut
adalah membangun minat bacanya seperti minat makannya. Artinya jika sebentar
saja tak membaca si anak akan merasakan dahaga atau lapar sehingga mencari buku
untuk dilahapnya. Untuk bisa seperti itu tentu buku harus menjadi sesuatu yang
menggiurkan di mata anak. Membiasakan selalu di perpustakaan, di rumah selalu
melihat orang membaca buku, rekreasi ke toko atau pameran buku, memberi hadiah
spesial berupa buku, ngobrol selalu tentang buku menjadikan mileu anak dominan
dengan buku. Target idealnya adalah aktivitas membaca menggantikan aktivitas
mendengarkan.
Menilik Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup
memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World"
yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu,
Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat
membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana
(61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca
peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Kondisi ini tentu
menjai pemicu kita untuk lebih serius dalam menanamkan kemampuan membaca anak
didik kita.
Langkah berikut adalah
memantau bacaannya dicerna, bereaksi menjadi ide baru. Dengan bertanya ringan,
“Apa sih serunya buku yang kau baca itu nak?” menjadi pancingan seberapa besar
reaksi yang terjadi di kepalanya tentang tulisan-tulisan yang baru saja dibaca.
Saat anak sudah lebih suka ngobrolkan isi bacaan berarti reaksi sudah
berlangsung sesuai yang diharapkan. Terus pancing dengan pertanyaan sehingga
semakin sering untuk ngomong tentang apa yang dibacanya. Manakala sudah dirasa
pada titik maksimal, ajaklah anak untuk menuangkan omongannya ke dalam
tulisan-tulisan. Bebas, tidak usah dibatasi dulu dengan aturan tulisan. Biarkan
mengalir. Dan orisinal. Di titik ini fase masuk ke aktivitas menulis . Tujuan
idealnya, menulis menggantikan aktivitas berbicara.
Yang terpenting dalam
mengajarkan kemampuan menulis untuk kelas bawah bisa dimulai dengan menyalin
huruf, tulisan. Untuk melatih motorik halusnya dalam menggoreskan tulisan.
Tahap selanjutnya untuk
mengajarkan menulis adalah memastikan anak memiliki apa yang ditulis. Apa yang
ditulis itu yang paling sering berkeliaran di benaknya. Jika si anak melihat
sesuatu yang menarik perhatiannya tentu di benaknya akan ada sesuatu yang
dipikirkan. Dengan meminta mengamati sebuah benda kemudian menuliskan apa yang
dipikirkan merupakan pancingan awal anak untuk menuliskan apa yang dipikirnya.
Langkah selanjutnya
dengan menggunakan diary. Cocok dimulai dari kelas 3. Setiap hari yang mereka
alami di sekolah merupakan bahan penting untuk dituangkan dalam tulisannya.
Sehingga kewajiban menghadirkan pengalaman yang menarik di setiap aktvitasnya
adalah merupakan hal yang sangat penting. Diary juga bisa digunakan sebagai
alat untuk menumpahkan perasaan hatinya. Perkembangan anak yang semakin
mendekati pubernya tentu butuh media yang paling dipercaya untuk menumpahkan
curahan-curahan hatinya. Diary menjadi media tepat untuk menajamkan kemampuan
tulisnya.
Kemampuan berhitung
cenderung relatif lebih cepat dikuasai dibandingkan tulis-baca. Namun begitu
mengajarkan tetap wajib dengan penuh keceriaan dan memancing penasaran.
Berhitung kongkrit menjadi awalan yang harus mengharuskan menggunakan alat dan
benda yang kongkrit. Kepahaman konsep menjadi proritas ketuntasan. Bukan semata
habisnya materi. Berhitung merupakan kemampuan yang mempunyai ciri khas adanya
penjenjangan syarat yang harus tuntas dikuasai. Sehingga tidak tuntasnya satu
syarat menjadikannya beban untuk menempuh tahap berikutnya. Di titik ini yang
menyebabkan anak membenci pelajaran matematika. Kata kuncinya adalah ketuntasan
konsep matematika menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi.
Melihat hasil ujian
nasional kelas 6 di SDIT Alam Nurul Islam beberapa tahun terakhir bisa
dianalisis. Dari 4 mata pelajaran, hasil ujian mata pelajaran PAI dan IPA
relatif mendapatkan nilai yang mempunyai rerata tinggi. Analisis yang muncul,
pembelajaran yang implementatif untuk PAI di kehidupan sehari-hari di sekolah
seperti sholat berjama’ah, pembelajaran BTAQ, doa makan, akhlaq turut menjadi
nilai yang sudah terinternalisasi sehingga dengan tes tertulis siswa mengaku
belajar tidak terlalu berat. Tiga tahun terakhir siswa yang mendapatkan nilai
100 untuk PAI lebih dari 5 anak. Begitu juga untuk mata pelajaran IPA. Melalui
pembelajaran tematik berbasis proyek, outing,
konsep dan materi IPA ikut terinternalisasi sehingga turut mempermudah siswa
dalam mengerjakan ujian akhir.
Untuk materi ujian
akhir Matematika dan Bahasa Indonesia relatif masih belum cukup seberhasil mata
pelajaran IPA dan PAI. Matematika dan Bahasa Indonesia adalah 2 mapel yang
sangat menggantungkan siswa pada kemampuan Calistung. Dengan demikian hasil UN
Matematika dan Bahasa Indonesia yang kurang bisa disimpulkan bahwa kemampuan
Calistung anak memang belum tuntas.
Sebuah optimisme bahwa
hasil Ujian Akhir akan gemilang dengan model pembelajaran yang menitikberatkan
pada metode internalisasi nilai dan konsep tentu akan lebih mengakar pada
pemahaman. Mewujudkan pembelajaran Calistung yang lebih menginternalisasi tidak
semata bertujuan sukses mengerjakan soal ujian akhir semata. Lebih jauh lagi
menjadi anak yang mempunyai kemampuan literasi yang mantap menjadi dasar yang
kuat untuk menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi apapun passion ataupun ambisi hidupnya.
Muhammad Ariefuddin, guru kelas 3
Tidak ada komentar
Posting Komentar