Karakter adalah Medali Emas Siswa

» » » Karakter adalah Medali Emas Siswa

   
         
Di hari Selasa yang cerah ini. Langit tampak membiru tak diliputi awan sedikitpun. Anak-anak bergegas berlarian kecil menuju lapangan untuk mengikuti salah satu pelajaran favoritnya. Pelajaran Olahraga. Di sana pak Agus sudah menunggu lengkap dengan peluit dan bolanya. Hari Selasa juga menjadi hari yang ditunggu-tunggu pula oleh kami. Para guru kelas 3 yang rutin menjadikan Selasa sebagai hari meeting pekanan. Ada 3 kelas pararel dengan setiap kelas ada 2 guru. Kami menyebutnya guru Pendamping dan guru Pembina. Guru Pendamping bertugas fokus pada pelaksanaan program akademik siswa. Sedangkan guru Pembina khusus memantau perkembangan psikologi siswa.
            “Gimana ya caranya supaya anak-anak fokus mendengarkan di saat gurunya berbicara ?” Bu Laila membuka pembicaraan. “Beberapa anak mempunyai kebiasaan ngobrol dengan temannya di saat saya menerangkan. Meski sudah berulang kali diingatkan, sebentar berhenti kemudian ngobrol lagi.”
Pertemuan rutin Selasa adalah forum resmi yang harus dilakukan setiap level kelas untuk membahas perencanaan dan evaluasi pelaksanaan pembelajaran setiap pekannya. Sebagai Koordinator Level Kelas 3, sudah menjadi kewajibanku untuk memastikan pertemuan rutin itu terselenggara dengan baik. Namun, kami bisa mengubah forum yang harusnya resmi itu menjadi bernuansa cair. Sehingga permasalahan yang ditemukan setiap guru di kelas satu per satu menjadi pembahasan kami.
            “Anak-anak itu sepertinya butuh penanda” kataku. “Maksudnya?” sahut bu Dina. “Saya terinspirasi dengan sebuah sekolah di Tangerang yang mengajarkan suatu aktivitas dengan prosedur Start and Finish. Sebagai contoh, untuk aktivitas makan bersama, yang disebut Start itu adalah saat anak-anak mengambil piring untuk makan. Dan yang disebut Finish itu adalah saat anak selesai mencuci piring. Tujuan dari prosedur ini adalah adanya ketuntasan setiap aktivitas. Jika tidak tuntas maka hal tersebut masuk pelanggaran. Nah, kita bisa memodifikasi prosedur Start and Finish ini untuk membiasakan sikap anak dalam forum. Kita bisa menggunakan salam pembuka forum sebagai titik Start dan salam penutup forum sebagai titik Finish. Setelah Start anak-anak tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun tanpa mengajukan ijin dahulu kepada pemimpin forum. Baru setelah titik Finish anak-anak boleh melakukan aktivitas apapun tanpa seijin pemimpin forum. Jika prosedur ini tidak dilakukan dengan baik, misal ada anak yang ngobrol padahal pemimpin forum sudah mengucapkan salam, maka anak tersebut termasuk melanggar. Pemimpin forum bisa memberikan tanda menggunakan karet gelang misalnya. Dengan prosedur Start and Finish ini harapannya anak-anak akan terbiasa mendengarkan dan fokus saat pembelajaran”, jelasku. “Bisa juga tuh dicoba” sahut bu Laila.
            Kami sering menemukan kasus permasalahan baru dari kelas setiap pekannya. Baik yang menyangkut masalah akademik, seperti kemampuan berhitung yang belum cepat, atau terkait dengan perilaku bullying anak. Kami menyimpulkan bahwa, kunci keberhasilan pembelajaran setiap siswa itu sangat ditentukan oleh perilaku dan sikapnya. Tidak jarang kami temui anak-anak yang mempunyai potensi akademik baik namun tidak didukung oleh perilaku dan sikap yang baik berakibat langsung pada hasil akademiknya. Sikap anak yang ingin menang sendiri biasanya diikuti dengan sikap meremehkan kepada teman maupun pembelajaran. Si anak tidak menyadari bahwa materi pembelajaran yang harus dikuasai itu meningkat. Serta belajar itu membutuhkan kerjasama tidak individualis. Justru anak-anak yang tampak bersahaja namun mempunyai perilaku baik secara konsisten, kemudian menampakkan prestasi yang melonjak. Anak model seperti ini lebih mudah mendengarkan sehingga lebih cepat tersentuh dengan motivasi belajarnya.
            “Menurutku, prosedur pemilahan sampah itu terlalu rumit. Untuk membentuk kebiasaan itu, anak harus paham mengapa sampah harus dipilah. Kalau perlu tayangkan saja video yang menunjukkan parahnya sampah yang tak terkelola. Juga video tentang sampah yang setelah dipilah dan didaur ulang akan nampak indah dan bernilai. Setelah itu adakan simulasinya. Pemantauannya, lebih bagus lagi ada Punish and Reward untuk memastikan pemilahan sampah itu suah menjadi kebiasaan dan bahkan budaya.” Komentarku terhadap penjelasan Bu Nurul terkait dengan prosedur Pemilahan Sampah yang baru saja disosialisasikan kepada para guru Pembina.
            Pendidikan yang berhasil itu saat mampu melakukan perubahan pada peserta didiknya. Baik perubahan pengetahuan, perasaan dan yang lebih penting lagi adalah perubahan perilaku menjadi lebih baik. Agar sampai pada kemantapan untuk mengubah sikapnya menjadi baik, siswa butuh motivasi yang mampu menyentuh perasaannya sehingga yakin dan bersemangat untuk berubah. Sering para guru sudah merasa kehabisan cara untuk mengubah perilaku siswa menjadi baik karena sudah berulang kali menasehati, memperingatkan, menegur bahkan menghukum. Yang lebih parah lagi si anak sudah terlanjur dicap sebagai “anak nakal” yang tidak mungkin berubah lagi menjadi lebih baik. Menjelaskan, memotivasi, menjelaskan prosedur, melakukan simulasi, memantau, mengevaluasi, memberi penghargaan dan hukuman, adalah siklus yang harus dilakukan untuk membentuk kebiasaan hingga menjadi karakter pada siswa.
            “Kemarin Aku baru saja bertemu dengan ayahnya Aliyya, secara lengkap Aku jelaskan terkait dengan kronologi kejadian serta mengapa hal tersebut terjadi”, bu Dina membuka kasusnya. “Aliyya itu adalah anak perempuan, mendidik anak perempuan sangatlah berbeda dengan anak laki-laki. Aku melihat pak Agung itu bersikap kepada Aliyya disamakan dengan anak laki-lakinya. Perempuan butuh sentuhan dan penampilan. Tidak seperti laki-laki yang dibiarkan seadanya saja tidak masalah. Aku melihat itu yang menjadi latar belakangnya.” Penjelasan bu Dina.
            Sikap dan perilaku anak sangat dipengaruhi bagaimana orang tua memperlakukannya. Sehingga pendidikan orang tua kepada anak akan membentuk pola yang kelak bisa jadi akan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Seorang ayah tentara akan cenderung untuk memilih disiplin sebagai pola pendidikannya. Yang itu sangat mungkin juga menjadi pola pendidikan anaknya kelak saat sudah menjadi orang tua, meski tidak menjadi tentara.
            Kerjasama antara orang tua dan sekolah dalam hal ini guru kelasnya menjadi sangat penting. Keberhasilan proses pendidikan siswa sangat menuntut komunikasi efektif antara orang tua dan guru bahkan hingga tingkat harmoni. Karena manakala hubungan antara orang tua dan guru sudah sampai harmoni, dinding psikologi antara orang tua dan guru bisa dihilangkan. Baik guru dan orang tua tidak canggung lagi menyampaikan masalah dan masukan antar mereka.
            “Saya memang tidak memaksakan kemampuan akademiknya. Mas Kaka tidak Saya ikutkan les ini les itu. Tapi untuk belajar al-Qur’an dan sholatnya itu yang lebih penting dan selalu saya pantau.” Penjelasan bu Witri di tengah kesibukannya mengelola bus Pariwisata masih tetap menempatkan pendidikan anaknya yang paling utama. Pendidik utama itu adalah orang tua bukan sekolah. Karena Tuhan mempercayakan amanah anak itu kepada orang tua bukan sekolah. Sekolah aalah mitra orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Sehingga sangatlah tidak tepat manakala ada orang tua yang telah merasa menginvestasikan dana cukup besar kepada sekolah kemudian menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Dan saat terjadi masalah yang menimpa kepada anaknya, sekolah dikritik dan dituntut habis-habisan telah dianggap gagal mendidik anaknya. Begitu juga sekolah, karena merasa yang mempunyai konsep dan kurikulum, orang tua ditutup kesempatannya untuk memberikan masukan kepada sekolah. Tentunya sekolah model seperti ini lambat laun akan ditinggalkan oleh para orang tua sebagai mitra untuk mendidik putra-putrinya.
            Perhatian para guru untuk mengawal pembentukan karakter siswa adalah agenda utama yang seharusnya mendominasi pembicaraan setiap kesempatan. Guru akan terasah ketrampilannya dalam mengidentifikasi masalah dan menemukan metode yang tepat dalam kaitannya dengan usaha untuk membentuk karakter siswa. Selain sebagai guru, tentunya para guru adalah para orang tua bagi anak-anaknya. Pengalaman menanamkan karakter kepada siswa-siswanya tentu sangat bermanfaat diaplikasikan kepada anak-anaknya sendiri.
“Saya usul, bagaimana kalau pertemuan rutin ini dibuat dua kali sepekan?” usul Bu Murni guru yang baru saja bergabung di sekolah. “Saya merasa banyak ilmu dan solusi permasalahan kelas yang Saya dapatkan sebagai guru baru”. “Saya sih mau-mau saja, cuma waktunya yang sudah tidak ada Bu” jawab Saya sambil disambut tawa guru-guru lainnya.   

Muhammad Ariefuddin, guru kelas 3 

Share

You may also like

Tidak ada komentar