Parenting School XVII : Membimbing Kegemaran Anak Menjadi Prestasi

» » Parenting School XVII : Membimbing Kegemaran Anak Menjadi Prestasi

Sudah menjadi hukum alam bahwa sebuah kegemaran, hobi, mania yang melakukannya bisa lupa daratan atau bahkan dunia. Untuk mencegah kegemaran boleh jadi sulit sekali. Kalo kita baca biografi para tokoh dan penemu besar, sebagian besar mereka mengukir prestasinya berenergikan kegemaran. Nah, pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah dalam mengelola energi gemar itu hingga dituntun benar menuju ukiran prestasi yang diakui. Diakui orang lain entah skala lokal, regional atau bahkan global, mundial. Adalah pak Ahmad Taufiqurrahman yang kini sudah menuai hasil kesabaran dalam mendampingi putra-putranya sehingga dengan kegemaran putra-putranya mampu mengukir prestasi. Tidak saja Nasional bahkan Internasional. Ahmad Ataka  Awwalu Rizki, jika orang bertemu dengannya tidak mengira jika ia adalah seorang mahasiswa elektro UGM. Tubuh kecil, mungil namun mampu memproduksi ide gagasan yang besar. Sewaktu SMP, ia telah membuat novel tetralogi setebal 800-an halaman. Saat SMA, ia mewakili satu dari lima wakil Indonesia di ajang Olimpiade Fisika Internasional di Kroatia. Ia pernah diundang di acara Kick Andy atas karya novelnya.


[youtube http://www.youtube.com/watch?v=yBnb4aqIzFg]


Atya Sarah Faudina, putri keduanya. Sudah beratus kejuaraan dari dunia menyanyi dan pendongeng hingga tingkat Nasional yang ia raih. Bahkan ia sudah dipercaya mendampingi pengongeng Nasional Kak Bimo dalam setiap event yang melibatkan tidak hanya ratusan anak-anak tapi bahkan puluhan ribu audiens.



Kali ini acara sengaja diset full dialog. Pak Taufiq akan menjelaskan mulai dari pertanyaan yang dilontarkan oleh para hadirin. Untuk stimulus, pak Taufiq menyediakan 5 doorprize kaus pinter, yang merupakan usaha baru beliau. Idenya muncul dari putranya Ataka.


Untuk mengerti apa kegemaran anak memang gampang-gampang susah, kata Pak Taufiq. Meski diakui beliau tidak menggunakan alat tes bakat yang sekarang banyak berkembang. Beliau hanya mengandalkan naluri seorang orang tua kepada anak. "Masak dengan anak sendiri kok ya tidak paham", seloroh pak Taufik. Biarkan dan jangan campuri apa yang menjadi kegemaran anak. Sekarang ini yang terjadi, anak justru malah dijadikan seperti robot. Keinginan orang tua yang besar terhadap membuat anak harus mengalami 'pemaksaan'. Seperti harus ikut les sana les sini, les ini les itu. Boleh jadi hal itu bisa terwujud tapi tidak bertahan lama dan monoton. Seperti pernah pada tahun 2006-an, saat itu novel Ataka diakui dan naik cetak penerbit. Belum banyak penulis cilik. Selanjutnya banyak penulis cilik bermunculan. Namun, kesannya 'dipaksakan'. Ada intervensi orang tua yang 'memaksa' anak untuk menjadi penulis. Nah ini tidak natural.


 


Pak Taufiq melihat bahwa kegemaran anak bisa jadi berubah. Seperti Ataka. Saat SMP ia gemar membaca. Pak taufiq mengamati kegemaran membaca anaknya 'tidak normal'. Buku novel tebal bisa habis dalam 4 hari untuk usia 10 tahun. Bahkan untuk memenuhi kegilaan membacanya, pak Taufiq harus mengambil jatah konsumsi keluarga hanya untuk membeli buku untuk Ataka. Awal mula pak Taufiq tidak percaya anak seusia itu kok mau baca novel tebal. Ternyata setelah membaca, Ataka terus bercerita kepada orang tuanya tentang isi buku. Dan dari gaya ceritanya, Ataka paham detail terhadap apa yang dibacanya. Begitu setelah membaca pasti terus diceritakan. Karena kesibukan, orang tuanya usul supaya yang akan diceritakan itu ditulisnya. Usul itu diterima, hingga ia membuat corat-coret yang dikumpulkan. Suatu saat pernah ibunya mau membuang coretan-coretan itu. Tapi dicegah dan diamankan. Pak Taufiq awalnya mengira pasti tulisan-tulisan itu hanya cuplik sana cuplik sini. tapi rasa penasarannya membawa Beliau ke teman yang berada di fakultas Sastra UGM. Betapa kagetnya, penilaian teman beliau, ini adalah karya original. Hingga penerbit pun bersedia untuk mencetaknya.  Saat menginjak SMA, ia berubah senang pada Matematika dan Fisika. Hingga membawanya juara pada Olimpiade Fisika Internasional. Sekarang ataka sudah jadi mahasiswa teknik Elektro UGM. Kegemarannya pun berubah jadi suka dunia robot. Anak jika sudah suka sesuatu pasti akan fokus dan berusaha untuk memenuhi keingintahuannya.



Lain Ataka, lain Atya. Atya sejak kecil memang senang menyanyi. Lagu satu kaset bisa dihafal dan dinyanyikan dengan sempurna. Pak Taufiq melihat Atya suka dunia ini. Sewaktu dileskan di pelatih tarik suara. Gurunya heran karena Atya mampu menyanyikan nada solmisasi dengan bagus tanpa Fals.  Selain nyanyi dan dongeng, Atya juga suka dunia puisi. Kegemaran dongengnya yang menemukan adalah guru sekolahnya. Gurunya melihat kalo Atya tu suka ngobrol. Agar produktif, gurunya mengarahkan menjadi pendongeng yang hingga kini sudah dipercaya kak Bimo untuk menjadi asistennya.


Tidak hanya soal kegemaran. Soal cita-cita, pak Taufiq tidak terlalu mencampuri. Ataka sejak kecil ingin jadi dokter, namun sekarang meski jika masuk fakultas kedokteran di UGM pun bisa langsung masuk karena prestasinya, namun justru kini yang ia sukai adalah bidang teknik. Sehingga masuklah Teknik elektro. Karena juaranya di ajang Olimpiade Fisika Internasional, Ataka mendapatkan beasiswa hingga S3. Menurut pak Taufiq, anak adalah investasi. Pesan beliau, Jangan khawatir, jika penyiapannya benar, tanpa paksaan suatu saat panen besar pasti diraih. Kini dari novel Ataka besar royaltinya sudah mencapai ratusan juta, beasiswa, bahkan usaha baru pak Taufik pun juga lahir dari ide-ide putranya.



Bagaimana caranya mengarahkan kegemaran baca anak agar supaya tidak lupa untuk belajar materi sekolah? Yang dialami pak Taufiq terhadap anaknya, justru kegilaan membaca itu ikut membentuk karakter kedewasaan dalam belajar. Pengalaman selama ini, meski gila baca, Ataka tetep disiplin belajar dan ranking kelas terus. "Mungkin benar ya wakyu pertama itu adalah perintah baca, Iqro ! Bacalah ! ada pesan dibalik itu bahwa tidak hanya informasi yang akan didapat tapi jauh pembentukan karakter pembelajar ikut terbangun" kata Pak Taufiq. Paling awal yang harus dikuati adalah agama. Karena sebagai pondasi. Nah pada masa anak-anak di saat berkembang, bebaskanlah anak sebebas-bebasnya untuk pengembangan kreativitas. Nah agama yang kuat akan mengendalikannya. Biasanya ada orang tua akan marah jika anaknya gemar main game. Tapi suatu ketika Ataka juga gemar game, justru dari game itu ia menemukan ide muncul.



Memang saat ini banyak sekolah terutama favorit hanya mengejar gelar prestasi tanpa melihat bagaimana proses anak dalam mencapai prestasi tersebut. Pernah suatu saat peluncuran novel ataka yang diselenggarakan di sekolahnya oleh penerbit, pihak sekolah tidak begitu merespon. Begitu banyak orang yang meliput dari media, baru sekolah tersebut meresponnya.  Apalagi pihak orang tua muncul kompetisi agar anaknya bisa berprestasi di segala bidang jika perlu. Harus les sana privat sini. Yang terjadi kemudian adalah anak dieksploitasi, yang memprihatinkan ada motif  orang tua yang ingin ikut terkenal numpang terkenalnya si anak.  Biarkan anak-anak tumbuh dengan kegemaran, dengan penanganan yang tepat suatu saat bisa meledak menjadi prestasi yang mendunia.


Share

You may also like

1 komentar

infodieng mengatakan...

menurut ane, hoby bisa dijadikan sumber penghasilan gan.