Aku dan Guruku

» » » Aku dan Guruku


Penulis : Melisa Indah Puspita, S.Pd

Bismillahirrahmanirrahiim
Dahulu, bagi saya guru adalah sosok serba tahu, yang selalu berada di depan kelas memegang kapur dan penggaris. Mereka sangat luar biasa karena dapat memahami banyak hal bahkan hal-hal yang tidak ku tanyakan.
Dahulu, orang-orang bilang guru adalah dia yang di gugu dan di tiru. Benar adanya apapun yang guru kami lakukan rasanya memang ingin sekali menirunya. Dari cara pakai jilbabnya sampai bagaimana halusnya dia berkata. Tak jarang ketika bermain belajar-belajaran akan ada sosok yang ditiru sikap marahnya.
Dahulu, guru bagi saya adalah dia yang selalu memeriksa kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mereka yang selalu berani berbicara di depan mimbar, mereka yang selalu memuji hasil kerja kami bahkan tidak jarang mengeluhkan keburukan sikap kami sambil diisi petuah-petuah “besok, kalau kalian besar mau jadi apa kalau seperti ini”
Dengan tatapan kagum pada mereka maka tanpa ragu aku menjawab aku hendak jadi guru ketika siapapun bertanya akan cita-citaku. Membayangkan berada di depan kelas membagikan ilmu dan mengatur anak-anak kecil lainnya. Menjadi sosok yang selalu mengawasi apapun yang anak-anak lakukan.
Sampailah ketika berbagai jalan dan ikhtiar ku lalukan untuk mencapai cita-citaku, Allah takdirkan aku menjajal menjadi guru di sebuah sekolah negeri di Pekanbaru. Dengan pembawaanku yang tidak dapat berbicara dengan pelan dan lembut ternyata Allah tempatkan ku di kelas 2 yang luar biasa. Bagi saya lebih mudah tampinl di kelas tinggi daripada di kelas rendah. Tidak sebentar bagi saya untuk belajar dan akhirnya Allah beri kemudahan untuk saya menyesuaikan diri. Dari pengalaman itu saya pahami ternyata menjadi guru tak semudah yang saya bayangkan.
Bukan hanya sampai disitu. Pengalaman dan pembelajaran saya pun berlanjut, pembelajaran yang sesungguhnya ternyata saya alami ketika saya kembali di takdirkan Allah untuk bergabung dalam sebuah Sekolah Alam (SDIT ALAM Nurul Islam ). Sekolah yang menurut saya adalah sebenar-benarnya sekolah. Wadah untuk anak belajar apapun. Yang tidak hanya memperhatikan nilai-nilai pencapaian ketuntasan belajar anak, dan di sinilah saya baru benar-benar paham makna guru sesungguhnya.
Saah satu pengalaman awal saya ketika menjadi guru di SDIT Alam ini yaitu suatu ketika saya mengampu sebuah kelas sebagai guru pembina. Kelas yang sangat anaknya sangat dinamis. Anak putri yang solid dan anak putra yang aktif. Mereka sangat mencintai guru mereka sebelumnya, seorang ustad yang menurut saya memang sangat luar biasa totalitasnya. Tantangan tersendiri bagi saya menghadapi mereka. Menurut saya untuk dapat didengarkan mereka saya harus dicintai oleh mereka, padahal mereka tampak belum move on­  dari guru mereka di kelas 1 sebelumnya.
Dengan pengalaman yang sedikit saya berusaha menjadi guru yang baik di hadapan mereka, tapi belum tampak hasilnya dimana mereka masih terlihat melihat saya sebagai orang yang baru dikenal. Pendekatan terus saya lakukan dan tidak butuh waktu lama mereka sudah mulai tampak nyaman dengan saya. Namun ternyata, anggapan saya tak sepenuhnya benar. Ada beberapa anak yang masih sering “lepas-lepas” dari saya, sampai di suatu saat ketika seorang sangat sulit untuk di beri nasehat, sulit mendengarkan, sulit bersabar dan saya memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati berdua dengan anak tersebut. Hasilnya, saya tidak tahu pasti apakah apa yang saya ucapkan benar-benar dapat diterima dan diresapi tapi ketika saya mencoba berbicara, apapun yang saya katakan seperti Allah balikkan dan dibisikkan  ulang ke dalam hati saya. Ketika saya meminta anak itu untuk belajar mendengarkan, maka seketika itu saya seperti diingatkan “Kamu harus belajar mendengarkan Mel”, ketika saya meminta anak ini untuk bersabar maka seketika di hati saya seperti ada yang membisikkan “Kamu harus belajar bersabar, Mel”. MasyaAllah. Sambil menasehati anak ini saya sambil menahan tangis. Bukan karena perlakuan anak ini, sikap saya sendiri. Melalu anak ini saya sebenarnya yang harus benar-benar banyak belajar dan bersabar.
Saya mulai memahami bahwa anak adalah para peniru ulung, mereka adalah masternya dalam mencontoh. Harusnya jika saya ingin mereka bersabar, saya dulu yang harus sabar. Begitu juga di banyak hal lainnya. Harus saya dulu, baru mereka akan secara serta merta mengikuti saya. Hal itu kemudian membuat saya memoyivasi diri saya sendiri untuk harus selalu dan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi tidak hanya di depan mereka, tapi baik dalam arti sebenarnya. Memperbaiki apapun itu yang kurang baik di hidup saya, di diri saya, di sifat saya, di sikap saya, di keseharian saya. Karena ketika yang baik tampak pada mereka maka mereka pun akan cinta kepada kebaikan.
Kini saya pahami, bahwa saya memang mereka anggap guru. Tapi Guru bagi saya sesungguhnya adalah mereka yang siapapun itu mampu mengajari saya hal-hal baik apapun itu, mampu menginspirasi dan mampu membenahi saya. Terimakasih untuk semua guru yang Allah takdirkan bertemu dan mengajari saya. Doa terbaik fi dunya wal akhirah untuk semua guru saya siapapun itu dan dimana pun berada. 
                                                                                       Alhamdulillahirrabbil alamin.
                                                                                               
                                                                                                Yogyakarta, 27 November 2018

Share

You may also like

Tidak ada komentar