Penulis : Siti Khatijah, S.Pd
Mencoba menggali kembali kenangan itu.
Saat pertama kali aku mulai menapaki karir dalam dunia kerja.
***
11 September 2011 kali pertama aku
menggunakan baju serba hitam dan topi segi lima dikepala dengan seutas tali
berumbai menjuntai di salah satu sisinya. Feel
amazing, that day... when the sky so
blue I graduated my college. Tentunya dengan ditemani keluarga dan sahabat
menambah syahdu suasana upacara wisuda hari itu.
***
Mencari pekerjaan adalah episode baru
dalam hidupku. Berbekal seperangkat surat lamaran dan “ubo rampenya” ku datangi beberapa sekolah untuk “belajar” lagi
menjadi seorang guru. Sampai tibalah aku di sekolah ini, berkat info dari kawan
lama di SMA.
Mendapat titel “Bu guru” saja belumlah
layak untukku apalagi mendapat titel “Ustadzah”. Surely, I felt unconfident every single day. Mungkin kala itu,
perasaan serba salah menjadi “new comer”
tersirat jelas diwajah ini hingga salah satu Ustadzah senior di sekolah ini
menggandeng tanganku dengan hangatnya. Mengantarku ke kelasnya dan
memperkenalkan kepada siswa-siswa di kelasnya. Kelembutannya mencairkan
suasana. Kesan pertama, dia adalah Ustadzah yang sangat baik.
3 hari menjalani observasi di sekolah
ini, aku merasa kagum dan damai. Setelah mengantungi restu orangtua, akupun
setuju untuk menandatangani kontrak mengajar dengan TMT 17 Oktober 2011. Akupun
siap “belajar” di sekolah ini.
***
Mata
Kuliah “Buka-Tutup Kelas”
Ustadzah Ana- my first partner ,
Ustadzah Rusmi, Ustadz Hermanu, Ustadzah Ida, dan Ustadzah Uul. Mereka adalah
tim Asatidz dalam satu rombelku di kelas Dua. Uniknya, diantara kami berenam
hanya Ustadzah Ida-lah yang sudah berkeluarga dan sisanya belum. Dengan bantuan tim ini aku
mulai belajar banyak “mata kuliah” baru.
Mendapati istilah “buka kelas” dan
“tutup kelas” sangatlah baru bagiku. Mengawali pagi dengan memberi semangat belajar
kepada siswa dan menutup sore dengan pemaknaan belajar kepada siswa adalah
praktik belajar yang belum pernah aku dapati di bangku kuliah sebelumnya. Very Impresif, I wonder.
***
Mata
Kuliah “Meluncur”
Membersamai siswa kelas bawah
membutuhkan porsi pendampingan dan pengawasan yang lebih besar dibanding kelas
atas tentunya. Mengingat tingkat kemandirian mereka yang belum sempurna. Pada
masa itu, Ustadzah Ana berpesan “Besok kita renang ya Ust, jangan lupa bawa
baju ganti”. Alamak, baju renangpun
aku tak punya. Setelah berhasil “mengadul-adul”
lemari, tibalah keesokan paginya dengan kaos putih, jilbab kaos dan celana trening.
Kegiatan renang diawali dengan berlari
mengitari kolam sebanyak 3 kali. Kemudian masuklah anak-anak ke dalam air yang
belum tercelup hangatnya sinar matahari itu. Untuk memotivasi siswa yang belum
bisa berenang maka kami semua wajib nyemplung
untuk memberi contoh dan menjaga mereka saat berada di dalam air. Satu-satunya
gaya berenang yang aku miliki saat itu hanyalah gaya batu. Membirulah bibir dan
wajahku di pagi itu, saking “lihai”nya aku berenang. Pertemuan renang
berikutnya, tersulut motivasi untuk bisa berenang, bertanya kepada teman adalah
jalannya.
“Meluncur” adalah teknik pertama yang harus
bisa dikuasai sebelum berenang. Pertama, berdiri dalam air dengan satu kaki di
tepi kolam, sedangkan kaki yang lain
menempel di dinding kolam. Kedua tangan direntangkan ke depan. Ambil nafas,
lalu tolakkan kaki yang menempel di dinding sebagai gaya dorong untuk meluncur.
Secara teori kurang lebih begitu, secara praktek? Sempat trauma dengan meminum
air, gelagepen, dan kehilangan
keseimbangan. Give up? Yes... but
curious? Yes...
Hingga saat aku coba membenamkan diri
di dalam air, dan aku membuka mata. Ternyata, kita tidak bisa menyentuh dasar
kolam. Mencoba benamkan lagi, maka akan terangkat ke atas lagi. Hey, ternyata
benar kata Ustadzah Nisa. Ketika diam saja di dalam air, kita tidak akan
tenggelam, kuncinya tenang.
Sangat penasaran dengan teknik
meluncur, ku coba untuk menenangkan diri. Mengambil nafas dalam-dalam, ku
hentakkan kakiku sekuat tenaga. “Sluuuussssssh....” ku buka mataku, ku amati
tubuhku mengapung di atas air. Keramik yang ada di dasar kolam terlewati satu,
dua, tiga, dst. Hey, aku meluncur! J
***
Mata
Kuliah “Mecucu-Meringis”
“Laatarkabunna
thobaqon an thobaq.....
“ ku lafadzkan saat mengisi tahfidz anak-anak kelas dua kemudian mereka setor
satu per satu.
Jam istirahatpun tiba. Aku kembali ke
ruang Ustadzah untuk minum dan makan jatah snack hari itu.
“Mau sek mulang tahfidz neng kelas
loro sopo yo?” tanya Ustadzah qiroaty.
Akupun menyimak.
“Kok bacaane kleru yo, latarkabunna ki ra oleh di woco laatarkabunna. Nek “La” maknane sungguh
nek “Laa” maknane jangan”.
Alamak (tepok
jidat), aku tersangkanya. Malu-malu aku ceritakan kejadian itu kepada
Ustadzah Ana. Aku menyesal, karena bacaanku keliru. Ustadzah Ana, menasehatiku
sebaiknya ikut les qiroaty kepada Ustadzah Qiroaty untuk memperbaiki bacaanku.
Menghadap “The master of Qiroaty”
sangat menegangkan. Perawakannya besar, suaranya lantang dan tatapannya... wow. Aku merasa begitu kerdil. Usut
punya usut “The master of Qiroaty” di sekolah ini dulu adalah mantan atlit
kempo. Wow, can you imagine that?
“Ustadzah, maaf saya takut.... hehe...
J”
“Takut apa?” jawabnya.
“Takut salah ust, hehe J ”
“A udzubillahiminasyaithonirrojiim”
“bukan A u! A ‘u!” sanggahnya.
“Setiap huruf itu punya haq. Haq huruf
diucapkan sesuai tempat keluarnya huruf (Makhrojul
huruf). Ada huruf yang dibaca “mecucu” misalnya sho, kho, tho, zo. Ada
huruf yang dibaca “meringis” misalnya sa, tsa, dan za”. Terang beliau tegas.
***
Mata
Kuliah “Mengikat Jarik”
Melewati beberapa tahun di sekolah
ini, membawaku kepada episode “emak-emak
jaman now”. Dengan dalih menjaga eksistensi diri tetap kujalani peran
sebagai ibu berkarir. Kelahiran putri pertama di usiaku yang saat itu 23 tahun,
menyisakan PR besar bagiku. Bisa dibilang, aku kurang ilmu. Aku belum setangguh
kawan-kawan Ustadzah lain yang menggendong bayi merahnya ke sekolah dengan
berkendara motor. Putri pertamaku pun tumbuh dalam asuhan Yangtinya hingga usia 17 bulan. Sudah saatnya dia “sekolah”.
Gendongan Kangguru, gendongan sling,
gendongan jarik, semuanya ku coba. Mana yang paling efisien dan nyaman untuk
membawa putriku. Hari pertama, kucoba menggendong dengan gendongan sling lalu
jaket besar sebagai penahan kepalanya jika ngantuk.
Alamak, di setiap beberapa meter mlorot-mlorot terus kepalanya. Aku harus
memperbaiki gendongan lagi dan lagi. Sampai saking
gemesnya, ku kemudikan motorku dengan satu tangan sedang tangan yang lain
menahan kepalanya yang mengantuk. What a
rempong day! Fyuuh...
Hari berikutnya ku coba menggendong
dengan menggunakan jarik. Dengan bantuan Yangti,
ku gendong dengan suwelan belakang.
Saat akan pulang, susahnya mencari “suwelan” belakang itu sampai “gembrobyos” baru bisa nemu itupun ndak
kenceng ikatannya. Fyuuuh.... susahnya
nak! Dengan bantuan Bu Dapur, baru akhirnya aku bisa mengikat jarik dengan
“suwelan belakang yang kencang”. Repotnya membawa baby ke sekolah membuatku
enggan mengajaknya lagi “bersekolah”. Menyebabkan datang terlambat, dan rempongnya itulah yang menjadi alasan
utama.
Hingga suatu hari ada seorang Ustadzah
yang membawa babynya sambil berkata “Ini namanya cara menggendong praktis,
cukup diikat saja seperti tali depan”.
Mengikat jarik dengan tali depan,
dengan style ini ku coba membawa
kembali putriku ke sekolahnya. Simpel, nyaman, dan kencang. We did it!
***
Dalam setiap doa, ku memohon kepadaNya
untuk memberikan kekuatan dan kemudahan dalam segala urusan. Bukan kuatnya,
bukan mudahnya yang kudapati namun yang kudapati adalah mata kuliah baru yang
membuatku belajar menjadi kuat dan
mendapat banyak ilmu dari Nya.
Alhamdulillahirobbil’alamin
Sleman, 29 November 2018
Tidak ada komentar
Posting Komentar