Oleh: Nesya
Arantika Dewi
Preparation is always
the best. Menemukan sebuah
kalimat dalam buku
jurnal harian lapuk
tak terawat yang tersimpan dalam lemari ada membuat alam
pikiran ini ingin
nostalgia beberapa tahun lalu.
Sleman,
1 Mei 2016
Ahad yang mendebarkan karena esok adalah
hari pertama memulai
kiprah bersama anak-anak di sekolah. Mencari informasi sebanyak-banyak mengenai siapa
mentor dan kegiatan yang ada di kelas
pada waktu itu.
Ada yang bilang
jika magang di kelas atas
anak-anaknya acuh terhadap guru baru.
Rumor itu membuat
tidur tak nyenyak. Apapun, show must go on!
Setelah sebulan
berlalu, ternyata tidak
cukup untuk memahami sistem pembelajaran yang diterapkan
di sekolah ini. Mungkin butuh bertahun-tahun untuk memahami dan mengkaji apa
yang sebenarnya menjadi
prioritas sekolah yang
dikenal sebagai sekolah
alam ini. Terlihat
bahwa sekolah ini sudah
mulai memiliki tagline pendidikan yang berbeda dengan
sekolah yang lain.
Decak kagum mulai
terpancar pada wajah
orang baru yang menapaki dunia
sekolah ini. Namun, waktu berkata
lain ketika selama
dua tahun harus
berpisah sejenak dengan
sekolah ini.
Setelah
dua tahun kembali.
Masih sama. Metode
pendidikan yang diterapkan di sekolah, tidak
banyak berubah. Ketika
tahun ajaran baru dimulai, mengajar di kelas
baru pun menjadi
tantangan tersendiri. Mendapatkan kelas yang katanya
‘istimewa’ ataupun yang ‘biasa aja’ itu hanyalah
persepsi yang lumrah
bagi masing-masing individu.
Ke mana anak
hendak dibawa?
Pertanyaan besar itu seketika muncul
di benak. Tekanan
utamanya jelas, anak akan ditemani
atau diantarkan dalam pencarian jati diri mereka
selama menjalani perjalanan kehidupan. Hanya itu. Anak sudah memiliki potensi
besar yang harus
dikembangkan. Banyak orang
menganggap ada anak bodoh
ataupun nakal. Sebaliknya, setiap anak harus
dipandang sebagai anak istimewa. Dan manusia mengemban peran itu.
Mengubah mindset tidak semudah
membalikkan telapak tangan, tapi ketika
menerapkan mindset
yang salah, itu akan menghancurkan masa depan.
Teaching
is performing arts. Yah,
mengajar adalah sebuah seni mendidik.
Ada sebuah kisah
seorang anak. Panggil
saja dia dengan
nama Una. Una adalah salah
satu anak cerdas tetapi
sayangnya banyak orang
yang mengganggap dia anak nakal,
pemberontak dan tak
mudah dikendalikan. Tuduhan itu sangat
membekas hingga sekarang, sehingga ketika dia melakukan hal baik, dia ragu dengan
apa yang dikerjakannya.
Ini adalah
salah satu bukti
bahwa anak memiliki
sense yang tinggi terhadap
sesuatu yang menyakiti mereka.
Anak istimewa. Mereka
itu beragam sesuai
dengan jalan mereka
masing-masing. Keberagaman
yang mereka bawa itu mewujudkan bahwa kita hidup di dunia memang berbeda-beda. Setiap anak itu spesial, mereka itu memiliki
kanvas kosong yang akan mereka
warnai dengan kuas berbagai warna. Tinggal bagaimana guru menemaninya.
Membangun
rasa empati di kelas.
Empati. Sebuah
kata yang tidak asing namun sulit untuk menerapkannya. Empati adalah kemampuan untuk
memahami perasaan seseorang
karena kita dapat membayangkan seperti apa rasanya menjadi mereka.
Ini adalah bagian
dari keadaan emosi
positif yang kuat di mana
kita dapat memperlakukan orang
lain dengan hormat
sementara masih menetapkan batas yang tepat tentang bagaimana orang lain
berperilaku di sekitar kita. Manfaat dari empati di dunia pendidikan adalah membangun budaya positif,
menguatkan dan mempersiapkan anak untuk menjadi pemimpin di ranah mereka masing-masing.
Tahun ini, rasa
empati menjadi fokus
saya saat mengajar. Ketika mengajar, empati
akan mengalir begitu saja
saat kami berdiskusi. Anak-anak memberikan perspektif mereka masing-masing.
Apalagi dengan karakter anak yang berbeda-beda, empati berperan penuh
dalam diri mereka.
Empati adalah jantung
dari budaya kelas
yang hebat. Melalui
empati, anak akan memahami satu sama lain dan dapat
membangun rasa pertemanan yang lebih erat berdasarkan hubungan yang positif dan saling percaya.
Mengingat
bahwa definisi empati melibatkan pemahaman perasaan orang lain, empati menetapkan anak untuk memperdalam hubungan
dengan teman sekelas
mereka saat ini dan
orang-orang yang mereka
kenal di luar sekolah. Dalam dunia kita yang semakin
terglobalisasi, orang-orang ini mungkin
berasal dari budaya
yang berbeda dan latar belakang
sosial-ekonomi yang berbeda dari sebelumnya, sehingga
membutuhkan keterampilan empati
yang lebih baik.
Ketika anak-anak belajar keterampilan empati dengan
berkomunikasi secara lintas karakter dengan teman
sekelas mereka, keterampilan itu akan berpindah
ke kehidupan mereka
di komunitas mereka. Hubungan yang
lebih dalam yang
dihasilkan dari keterampilan empati yang kuat memiliki potensi untuk memperkuat komunitas dan membangun kepercayaan.
Anak harus dapat
berempati dengan orang-orang yang mereka pimpin
untuk membuat mereka merasa dihargai. Validasi ini akan
memperkuat kepercayaan antara pemimpin dan pengikut.
Sebagai guru, kita
harus membekali siswa
kita untuk menjadi
pemimpin masa depan
komunitas kita dan seterusnya.
Membangun rasa empati
di kelas bisa
menggunakan cara membaca
buku fiksi. Pertanyaan dan diskusi berdasarkan cerita
bekerja dengan baik
untuk membangun bahasa
untuk emosi, terutama ketika guru dan anak
bekerja sama untuk
mengeksplorasi apa yang
menyebabkan karakter untuk bertindak atau merasa seperti
yang mereka lakukan,
dan konsekuensi dari tindakan dan emosi
mereka.
Tidak ada komentar
Posting Komentar