Penulis : Jauharotul
Farida, S.Pd.Si
Ini kali ke sekian saya mendapat amanah menjadi guru kelas 1.
Kata beberapa teman guru, level ini membutuhkan banyak kesabaran, menguras air
mata, penuh kelucuan dan kebahagiaan, dan masih banyak lainnya. Yang paling
penting di kelas 1 adalah masa pertama seorang siswa merasa nyaman atau tidak
di sekolahnya. Guru harus mampu membuat siswanya jadi nyaman dan mau terus
belajar, berproses dan mengenal sekolahnya lebih jauh.
Saat mengampu kelas 1C tahun ajaran 2017/2018 ini saya
menemui seorang siswa yang cukup unik. Anak ini saya amati sangat cerdas. Sudah
lancar membaca. hafalan bagus. Intinya soal akademik dia sangat bagus. Saat
Masa Orientasi Siswa (MOS) hari ke 3, siswa ini tidak mau ikut bergabung
menikmati makan siangnya. Saya mencoba untuk membujuknya. Anaknya benar benar
diam tak bergeming ketika saya panggil. Jika disuruh antri makan langsung
menolak, dan memukul teman atau guru yg berusaha menariknya ke antrian makan
siang. Oh mungkin dia tidak suka dengan menu siang ini. Akhirnya saya diamkan
dulu. Selama yang lain makan, dia hanya mojok di kursi guru sambil sesekali
melirik teman temannya yang sedang makan.
Esoknya saya amati lagi, pagi hari siswa ini enjoy bermain
bersama teman temannya. berlari kejar kejaran bersama temannya. belajar bersama
teman di dalam kelas. Semua terlihat biasa saja. nah, saat jam makan siang
siswa ini mulai menunjukkan perasaan gelisah. Mata sudah berkaca kaca. Intinya
siap meledak jika dipaksa untuk makan. Saya mencoba memahami kegelisahannya.
Saya dekati siswa ini. Saya tanya baik baik, kamu lapar atau tidak. Dia hanya
menjawab dengan kedipan mata sambil berkaca kaca. Sangat berbeda sikapnya
dengan saat pagi hari tadi, bisa lepas bebas tertawa. Siang ini dia seperti
tertekan dan itu jadi momok baginya. Saya minta untuk memegang piring dan
sendok dari sekolah saja, siswa ini enggan dan piring hanya dipegang saja. siang
itu pun berakhir tanpa sesuap nasi masuk ke perutnya.
Akhirnya sepulang sekolah saya japri orang tuanya. Menginfokan
jika dua hari ini putranya tidak mau ikut makan siang. Saya menyampaikan saran,
jika orang tuanya sempat mohon untuk dibawakan bekal kesukaan dia dulu. Untuk
memancingnya mau makan di sekolah. Awalnya orang tua sempat ragu, apakah
sekolah membolehkan jika siswa membawa bekal dari rumah? Akhirnya saya
jelaskan, memang aturannya harus makan yang dari sekolah. Jika membawa bekal
pun boleh saja, asal catering dari sekolah dinikmati juga. Alhamdulillah orang
tua bersedia membawakan. Bayangkan saja sekolah dari jam 07.15 sampai jam 15.00
tanpa sesuap nasi pun masuk ke dalam perut. Tentu terasa lapar sekali. jadi
untuk kemaslahatan si anak, saya beri kelonggaran boleh membawa bekal khusus.
Hari selanjutnya, orang tuanya sudah membawakan bekal. Saat
jam makan siang, saya mengamati anak ini masih belum mau bergabung dengan
temannya. dia memilih mojok di dekat kursi saya. Mencoba mencari perlindungan.
Padahal tidak ada yang mau memarahinya. Saya coba tanya, dia bawa bekal dari
rumah tidak? Ia hanya berkedip. Saya mencoba menuntunnya ke arah tas miliknya.
Saya buka tasnya. Tangannya mencoba mencegah supaya saya tidak mengambil bekalnya.
Matanya mulai berkaca kaca. Sambil sesekali melirik teman temannya. siang itu
pun berakhir tanpa sesuap nasi pun masuk ke dalam perutnya. Haduh!
Saya bertekad untuk menaklukkan kegelisahannya. Mengapa dia
tidak mau makan, apa takut sama teman, apa tidak suka menunya, atau ada alasan
lain kah? Hal ini berlangsung hingga satu minggu setelah MOS. Dia bawa bekal,
tapi tetap tidak mau mengeluarkannya apalagi menikmatinya. Selalu mojok di
kursi saya seperti minta perlindungan. Akhirnya saya sounding. Saya bilang
bahwa jika kamu lapar ayo segera dimakan bekalnya. Nanti bisa mubadzir jika
tidak dimakan. Saya yakinkan bahwa tidak ada yang memarahi dia, termasuk guru
pembina. Mata yang berkaca kaca itu malah semakin deras aliran airnya. Saya keluarkan bekalnya. Saya minta ijin ke teman
temannya untuk membolehkannya memakan bekalnya. Teman lainnya membolehkan dan
tidak ada yang protes.
Bismillah, saya ambil sesendok nasi dari wadah makannya. Saya
beri telur dadar di atasnya. Lalu saya suapkan ke mulutnya. Awalnya ia enggan
untuk membuka mulut. Saya tegaskan lagi, bahwa teman teman membolehkan. Ia pun mulai menangis keras. Terus saya
sounding dengan kata kata yang baik. Akhirnya ia pun luluh. Satu suapan itu
akhirnya mau masuk ke dalam mulutnya. Ceeeeees .... rasanya seperti dapat
durian runtuh. Bisa menaklukkan siswa ini demi makan siang. Saya minta ia untuk
melanjutkan makan siang sendiri. dia mau pegang sendok, meski sambil menangis.
Saya dampingi terus hingga beberapa suap nasi dan lauk masuk ke mulutnya. Saya tidak
dijinkan beranjak dari sisinya. Seperti ketakutan jika saya pergi. Saya mencoba
bilang kepadanya, akan didampingi oleh ustadz, dia tidak mau. Baju saya
ditarik. Tidak membolehkan saya bergantian dengan ustadz. Olala ... mesti sabar
menunggu ini sampai dia menghabiskan makan siangnya. Ya sudah saya ikuti
maunya. Dia mau makan saja sudah alhamdulillah. Rekor tersendiri.
Esoknya saya kebetulan tidak bisa mendampingi makan siang
anak anak, ada tugas sekolah yang harus saya ikuti. Setelah balik ke kelas, saya
tanya ke temannya, ternyata siswa ini tadi belum mau makan siang. Katanya
menunggu saya tidak datang datang, akhirnya tidak mau makan. Padahal ada ustadz
yang menunggu makan siang. Lha piye ini? Kok jadi ketergantuangan ke saya.
Hari hari selanjutnya mesti saya yang harus menunggunya makan
siang. awalnya dia tidak mau bergabung di lingkaran makan siang kelas, akhirnya
lama kelamaan mau duduk bergabung bersama teman temannya. hanya syaratnya, saya
harus berada di sampingnya. Ya sudah saya ikuti dulu maunya.
Lama kelamaan saya baru paham ternyata anak ini tidak mau
dianggap “tidak taat aturan” oleh teman temannya. dia sebenarnya mau makan,
hanya menu yang disediakan di sekolah belum disukainya. Dan yang paling
mengejutkan adalah ternyata dia masih phobia dengan sayur. Hal ini saya ketahui
saat ada temannya tidak sengaja menjatuhkan setetes kuah sayur ke piringnya.
Dia teriak sekuat tenaga dan tidak jadi makan. Saya kroscek ke orang tuanya
ternyata benar. Memang dari kecil siswa ini sangat membenci sayur, pernah di TK
dipaksa untuk makan sayur. Sejak itu dia benci dengan sayur.
Bulan ke dua, kami melarangnya untuk membawa bekal nasi. Ia
pun menurut. Orang tuanya tidak lagi membawakan bekal nasi, hanya lauk saja. Ia
pun sudah mau antri ambil nasi bersama teman temannya. lauknya memakai bekal
lauk yang dibawa dari rumah. Alhamdulillah dia mau dan sudah enjoy dengan hal
ini.
Akhirnya semakin lama saya amati, dia pun mulai bisa
beradaptasi dengan aturan sekolah. Aturan terakhir selanjutnya, saya tidak
membolehkan membawa bekal nasi dan lauk. Masya allah, akhirnya siswa ini juga
mau dan dia enjoy saya tanpa gelisah, takut atau merasa tertekan dengan aturan
sekolah. Meskipun yang diambil kadang cuma nasi putih saja. alasannya belum
bisa makan lauk selain telur dadar. Bagiku bahagiamu, bahagiaku juga nak.
Perkembanganmu sudah luar biasa. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Aamiin
Tidak ada komentar
Posting Komentar